Pertanyaan:
Apa benar bahwa sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, puasa yang diwajibkan adalah puasa ayyamul bidh? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang mampu menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), wajib membayar fidyah, (yaitu): memberi makan orang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ath-Thabari juga membawakan riwayat dari sebagian sahabat dan tabi’in, bahwa makna ayat “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu” maksudnya adalah puasa tiga hari di setiap bulan. Karena dahulu puasa tiga hari di setiap bulan hukumnya wajib, kemudian mansukh (dihapus) setelah turunnya kewajiban puasa Ramadhan. Di antaranya riwayat dari ‘Atha rahimahullah:
عن عطاء , قال : كان عليهم الصيام ثلاثة أيام من كل شهر , ولم يسم الشهر أياما معدودات , قال : وكان هذا صيام الناس قبل ثم فرض الله عز وجل على الناس شهر رمضان
“Dari ‘Atha, ia berkata: “Dahulu wajib bagi manusia untuk puasa tiga hari di setiap bulan. Dan puasa sebulan penuh tidaklah disebut dengan ayyaman ma’dudat (hari-hari yang tertentu)”. Atha’ juga berkata: “Dahulu puasa tiga hari setiap bulan wajib bagi orang-orang. Sampai Allah ‘azza wa jalla wajibkan puasa Ramadhan bagi manusia” (HR. Ath-Thabari dalam Tafsir-nya, 3/413).
Riwayat ini diriwayatkan oleh Ath-Thabari dari Al-Mutsanna, ia berkata: Abu Hudzaifah (Musa bin Mas’ud An-Nahdi) menuturkan kepadaku: Syibl bin Abbad menuturkan kepadaku: dari Ibnu Abi Najih, dari Atha’. Namun riwayat ini dha’if, karena terdapat Abu Hudzaifah Musa bin Mas’ud An-Nahdi. Imam Ahmad berkata: “ia adalah orang yang paling banyak kekeliruannya”. Bundar mengatakan, “ia dha’if”. Abu Hatim berkata, “ia banyak melakukan tas-hif”.
Riwayat yang semisal juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu dan Qatadah rahimahullah. Namun semuanya tidak lepas dari kelemahan. Oleh karena itu Abu Jarir Ath-Thabari mengatakan, “Pendapat pertama yang lebih tepat menurutku. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa firman Allah أياما معدودات [hari-hari yang tertentu] maksudnya adalah hari-hari bulan Ramadhan. Karena tidak terdapat satu pun khabar (riwayat) yang bisa menjadi hujjah, bahwa ada puasa yang diwajibkan kepada kaum muslimin selain puasa Ramadhan, kemudian di-nasakh dengan puasa Ramadhan. Alasan lainnya, dari konteks ayat diketahui bahwa puasa yang Allah wajibkan tersebut adalah puasa Ramadhan bukan puasa lain, kemudian Allah jelaskan waktunya dalam ayat ini. Yaitu hari-hari untuk melaksanakan puasa yang Allah wajibkan tersebut” (Tafsir Ath-Thabari, 3/417).
Namun terdapat riwayat-riwayat yang shahih bahwa dahulu kaum Muslimin diwajibkan untuk puasa Asyura di hari Asyura (tanggal 10 Muharram). Kemudian ketika turunnya kewajiban puasa Ramadhan, puasa Asyura tidak lagi menjadi wajib melainkan mustahab (sunnah). Sebagaimana perkataan ‘Aisyah radhiyallahu’anha,
كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَرَ بصِيَامِ يَومِ عَاشُورَاءَ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ كانَ مَن شَاءَ صَامَ ومَن شَاءَ أفْطَرَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk puasa hari Asyura. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka siapa yang ingin puasa dipersilahkan, dan yang ingin berbuka juga dipersilahkan” (HR. Bukhari no.2001, 4502, Muslim no.1125).
Ketika kaum muslimin hijrah ke Madinah, mulai ada pelonggaran terhadap kewajiban puasa Asyura. Sampai akhirnya turun ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan. Dari Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata:
كَانَتْ قُرَيْشٌ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ : ( مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ )
“Orang-orang Quraisy dahulu puasa Asyura di zaman Jahiliyah dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pun melakukannya. Ketika beliau hijrah ke Madinah beliau juga puasa Asyura dan memerintahkan (mewajibkan) para sahabat untuk melakukannya. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan maka beliau bersabda: ‘Barang siapa yang mau silakan berpuasa dan siapa yang tidak mau juga silakan‘” (HR. Bukhari no. 1794, Muslim no. 1125).
Abul Abbas Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Perkataan Aisyah [orang-orang Quraisy dahulu puasa Asyura di zaman Jahiliyah] menunjukkan bahwa puasa Asyura ini sudah diketahui pensyariatannya. Mereka juga mengetahui kedudukannya. Bisa jadi ini dikarenakan mereka bersandar pada syariat Nabi Ibrahim dan Ismail shalawatullah ‘alaihima. Karena orang-orang Jahiliyah bersandar pada syariat keduanya. Demikian juga mereka bersandar pada keduanya dalam hukum-hukum haji dan perkara lainnya” (Al-Mufhim, 3/190-191).
Kesimpulannya, puasa yang diwajibkan kepada kaum Muslimin sebelum puasa Ramadhan adalah puasa Asyura. Bukan puasa tiga hari di setiap bulan.
Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41773-puasa-yang-diwajibkan-sebelum-puasa-ramadhan.html